Tuesday, April 25, 2017

Rosyid Husnul Waro’i Pegiat Literasi dari Komunitas ke Mancanegara

Tidak ada istilah putus asa. Menggiati literasi sudah menjadi hobi pemuda kelahiran Sidoarjo ini. Komitmennya dalam dunia literasi telah menjembatani dia menuju panggung literasi mancanegara.
Foto/documen pribadi
***
M. Rosyid Husnul Waro’i merupakan segelintir diantara sekian banyak mahasiswa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang beruntung. Berawal dari perjuangannya dalam menjalani kehidupan sebagai pegiat literasi, kini Pria kelahiran Sidoarjo itu, mulai mengenal dunia literasi Mancanegara di Singapura Mei 2016 hingga 15 Mei 2016.
Pria yang pernah menjabat ketua Himpunan Mahassiswa Jurusan Bahasa (HMJ) Inggris UIN Maliki Malang, bertanda ke Singapura atas permohonan pengkaji Sastra Indonesia dari National University of Singapura (NUS), Azar Ibrahim Ph.d. Rosyid diperbantukan sebagai Asisten riset untuk pembuatan buku Sastra Indonesia dengan fokus kajian Pramudya Ananta Toer dan Muchtar Lubis. ”Saya membantu mereview beberapa karya dari dua satrawan itu,” ujar dia.
Berkunjung ke Mancanegara bagi orang yang mampu menjadi hal biasa. Namun bagi Rosyid, itu adalah sebuah kebanggan tersendiri. Apalagi baginya yang kuliah di UIN Maliki Malang sebagai mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi.
Di sana dia dikenalkan dengan Malay Haritage Center pusat kebudayaan melayu Singapura. Selain menikmati destinasi itu, Pria yang juga pernah menjabat Ketua SEMA-F UIN Maliki Malang juga mengikuti kelas program sejarah sastra melayu. “Saya belajar banyak tentang literasi melayu di sana,” jelasnya sambil tersenyum bahagia.
Keingginanya untuk bertandang ke Singapura sejak lama. Pada seleksi yang diadakan Fakultas Humaniora UIN Maliki Malang 2015 lalu untuk pertukaran mahasiswa, anak pertama dari tujuh bersaudara itu kurang beruntung. Niatnya untuk kerkunjung ke singapura di tahun 2015 itu harus pupus untuk sementara. “Walaupun saya belum beruntung, saya yakin suatu saat nanti pasti akan ada penggantinya yang lebih baik.” ungkapnya dengan penuh keyakinan.
Pengalaman ke Singapura baginya, merupakan kali ke dua perjalanan ke Luar Negerinya setelah empat tahun lalu sempat diberangkatkan ke Jepang. “Saya juga tidak pernah menyangka akan diberangkatkan ke sana,”tuturnya. Itu program pertukaran pelajar Japan-East Asia Network of Change for Student and Youth (JENESYS) dari pesantrennya, dan kebetulan dia menjadi delegasi yang terpilih diantara 500 santri yang ada di yang diikutinya.
Dalam obrolan yang lebih panjang, dia membagi kisahnya bagaimana ia dapat terpilih dan menjadi Asisten Riset seorang dosen muda dari NUS itu. “Saya merasa ini sebuah keberuntunga,” tuturnya. Rosyid tidak akan mengira dia akan bolak balik ke Singapura dengan begitu mudah.
Ceritanya berawal dari sebuah komunitas. “Saya dulu itu tidak terlalu aktif dalam dunia literasi seperti sekarang ini,” ungkap dia penuh rasa syukur.
Menekuni dunia literasi semenjak duduk di semester tiga Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris. “Yah, berawal dari sana, kemudian saya mulai mengenal banyak komunitas, seperti komunitas literasi dari UIN namanya Lilin, lantai kemudian barulah mengenal Pelangi sastra Malang,  Gusdurian, dan Pelestarian Sejarah Kebudayaan Kadiri (Pasak,” terang dia.
Dari komunitas itu, pria berusia 24 tahun itu merasa terbekali dengan semangat-semangat baru mendalami literasi di Indonesia, khusunya sastra. “Saya lebih conderung menyukai sastra Indonesia ketimbang harus bergelut dengan sastra inggris,” ungkapnya.
Berangkat dari sana, dia mulai bangkit untuk menjadi pemabaca yang baik bagi beberapa karya sastra klasik di Indonesia. “Setiap bulan saya targetkan minimal lima buku karya sastra berupa novel harus saya habiskan,” ungkapnya dengan penuh antusias.
Kecintaannya dalam dunia literasi tidak sebatas itu. “Setelah saya membaca, biasanya saya mencoba untuk menuliskan ide baru yang saya dapat dalam bentuk prosa-praosa pendek,” jelasnya. Ia juga menambahkan tulisan itulah yang kemudian sering saya kirim ke media. Selama ini, karyanya berhasil di muat di  dengan judul Burung Abad 20, kemudian di Malang Post yang berjudul Lautan Rei, diteruskan di Koran Madura berjudul Cabai di belakang rumah, di Radar Surabaya berjudul Gadis Penumpang Mikrolet, dan di Floressastra berjudul Pelukis Gunung Semeru. ”Karyanya tidak hanya itu, banyak tulisan saya yang belum kemuat di media juga,” jelasnya dengan tetap semangat.
Tidak hanya fokus pada karya prosa saja, Rosyid juga memiliki kemampuan riset yang baik. “Mungkin kemampuan saya riset ini juga menjadi bagian point utama kenapa dosen NUS Itu memilih saya,” ungkap dia. Selama ini dia sudah melakukan banyak riset terkait perkembangan sastra di Indonesia, bahkan tidak sedikit karyanya yang sudah dipresentasikan dalam konferensi nasional maupun internasional dalam mengaji bahasa dan sastra. “Saya juga betuntung atas fasilitas tersebut, khususnya kepada fakultas yang selalu mensuport saya untuk tekun meneliti,” tuturnya.
Tidak sedikit pemuda yang idealis menggeluti sastra seperti Rosyid. Dia membaca dengan target, menulis di media setiap Minggu-nya. Bahkan ia tidak pernah luput dengan aktifitas penelitian yang selalu digelutinya. Tidak heran, diusianya yang masih muda, ia sudah sangat produktif dan telah melebarkan sayapnya di dunia literasi Mancanegara.
Share:

SAWIT BUKAN SOLUSI

foto/internet
Kerusakan hutan akibat alih fungsi lahan menjadi komoditas sawit secara besar – besaran, adalah bentuk penyalahgunaan hutan Indonesia. Misalnya, pemanfaatan kawasan hutan produksi desa Kaloy, Tamiang, Aceh, disebutkan KOMPAS edisi 8 Maret 2017 terkait lahan sawit ilegal.
Sawit ilegal sebagai bentuk korporasi yang dilakukan elit yang berdiri atas kepentingan pribadi. Seperti, keberadaan kebun sawit yang berdiri atas izin pemerintah berdasarkan kesepakatan dengan pengusaha sawit. Kondisi demikian, seirama ungkapan Mahatma Gandhi bahwa seolah sumber daya bumi tak cukup memenuhi kerakusan perorangan yang mengorbankan banyak orang dan lingkungan. Akibat kerakusan perorangan tersebut, sumber daya melimpah berubah menjadi sumber bencana.
Sawit memunculkan permasalahan lingkungan hidup, buku Raja Limbung (Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia) menyebutkan tipe monokultur  kebun sawit menyebabkan organisme selain sawit dianggap hama, sehingga akan dimusnahkan petani sawit. Sawit, membutuhkan banyak air sehingga menimbulkan kekeringan akibat hilangnya sumber air. Permasalahan lain, sawit penyebab global warming karena menyuplai emisi karbon ketika pembukaan lahan dengan pembakaran hutan  dan adanya pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan kimia pada sawit.
Permasalahan lingkungan, seharusnya menjadi cambuk untuk bersikap tegas terhadap sawit. Keberadaan sawit Indonesia memang anugrah karena sempat mempunyai andil besar dalam pasar dunia, namun berbanding terbalik karena kerusakan lingkungan muncul setelahnya. Selain itu, sawit Indonesia belum berstandart internasional. Disebutkan dalam KOMPAS edisi 28 september 2016, Uni Eropa hanya menerima CPO (minyak mentah) yang berasal dari perusahaan sawit berkelajutan pada tahun 2020. Sedangkan di Indonesia dari 1.600 perusahaan sawit, hanya 184 perusahaan tersertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Sehingga masa depan sawit Indonesia sebenarnya mengkhawatirkan. Standart rendah dan kerusakan lingkungan seharusnya menjadi alasan untuk berhenti bergantung pada sawit. Sebab keberadaannya sangat merugikan kelestarian dengan kekayaan  indonesia.
Julukan zamrut khatulistiwa dengan kondisi lingkungan indah dan subur seharusnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Banyak solusi yang bisa dilakukan. Forest Watch Indonesia dan Globlal Forest Watch tahun 2000 menyebutkan, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi, meskipun daratannya hanya seluas  1,3% dari luas daratan dipermukaaan bumi. Biodiversity tersebut bisa dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi sebuah alat pemasukan dalam negeri melalui program ekowisata. Ekowisata salah satu bentuk pemanfaatan hutan berbasis sistem berkelanjutan. Sistem berkelanjutan dengan tujuan jangka panjang agar hutan tetap alami dan kekayaan hayati didalamnya tetap lestari hingga anak cucu nanti. Salah satu yang bisa diperoleh dari wisata berbasih lingkungan hidup, yaitu kemanfaatan sebagai media edukasi.  Biodiversity sebagai objek penelitian yang ditawarkan sebagai ikon sebuah wisata. Sehingga Biodiversity Indonesia menjadi objek vital perkembangan ilmu pengetahuan, atau Indonesia menjadi laboratorium dunia. Menjadi laboratorium dunia sekaligus menjaga kelestariannya adalah tanggung jawab dunia, sebab dunia butuh Indonesia. Antisipasi adanya monopoli dari pihak luar terhadap biodiversity Indonesia, maka penting dilakukan pengawasan terhadap hasil penelitian yang ada, dengan membuat bank data terkait segala bentuk penelitian yang dilakukan di Indonesia. Kesadaran akan kelestarian lingkungan pun akan semakin tinggi, sehingga hutan alami tidak mudah dilepaskan menjadi lahan sawit lagi, dan lahan yang terlanjur rusak karena sawit segera dilakukan rehabilitasi sekaligus reboisasi dan yang terpenting adalah mengurangi perluasan kebun sawit dengan peraturan yang mengikat dari pemerintah. Oleh karenanya perlu kesadaran dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
Share:

Wednesday, April 19, 2017

Kartini dan Dekonstruksi Kemapanan

Foto/Internet
Berbicara tentang kartini berarti berbicara tentang perempuan. Sosok perempuan yang melewati batas-batas pemikiran perempuan semasanya.  Salah satu perempuan yang sadar akan adanya ketidakadilan tirani dan berani beraksi untuk merubah dan memperjuangkannya kearah yang lebih beradab. Pergerakan dan pemikirannya yang progresif didapatnya di tengah kondisi kentalnya adat budaya jawa dan kerasnya arus kolonialisasi.
Kartini lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya Sosroningrat merupakan seorang bangsawan yang berpikiran maju. Beliau memberikan pendidikan Barat kepada seluruh anak-anaknya karena didorong oleh adanya kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan.  Di sisi lain, kartini harus dihadapkan pada posisi subordinasi anti kritik adat jawa yang melingkupinya, terlebih karena dia adalah seorang perempuan. Dari sinilah dimulainya letak perjuangan sebenarnya.
Budaya stereotype yang diperolehnya dalam kultur jawa dialami sejak kecil. Mulai dari budaya poligami seperti yang dilakukan oleh ayahnya karena ibu kandung kartini (Ngasirah) bukanlah berasal dari trah asli bangsawan, budaya pingitan yang dialaminya sejak umur 11 tahun, budaya perjodohan yang menegasikan pihak perempuan, sampai budaya perempuan yang hanya sebagai konco wingking (yang hanya mengurusi wilayah domestik rumah). Perempuan pada masa itu seakan-akan tidak punya daya tawar apa-apa.
Perasaan berontak akan sebuah ketidakadilan kuasa tersebut membuat kartini ingin merubahnya ke arah yang sepantasnya. Memperjuangkan sebuah emasipasi serta harkat martabat perempuan adalah sebuah keniscayaan yang diyakini akan menjadi kenyataan, jikalau kaum-kaum marginal tersebut tidak hanya diam. Kartini dengan pemikiran progresifnya mencoba mendekonstruksi budaya-budaya patriarkhi yang tumbuh subur dan anti kritik. Sikap feminis dan reformis secara tidak sadar telah terpengaruhi dalam setiap pergerakannya.
Bermula dari keilmuannya yang diperoleh dari Europesche Lagere School atau Elementary School, Kartini dapat menguasai bahasa Belanda sehingga ia memiliki modal pengetahuan yang cukup untuk berhubungan dengan dunia modern. Komunikasinya dengan teman-temannya di Eropa dilakukan lewat surat-menyurat dalam bahasa Belanda. Kartini yang berkorespodensi langsung dengan tokoh feminis Belanda Stella Zeehandelaar secara tidak langsung telah terpengaruh oleh konsep-konsep feminisme liberal yang lebih jauh lagi ke dalam nasionalis pos-kolonial.
Lewat surat-suratnya tersebut Kartini banyak mengungkapkan keadaan kaumnya dan juga harapan-harapannya tentang upaya meningkatkan derajat kaum perempuan Indonesia. Kartini mengungkapkan pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme dan perjuangan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia. Surat-surat Kartini kemudian dikumpulkan dan dibukukan oleh JH Abendanon, dengan judul Door Duisternis tot Licht. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tulisan-tulisannya adalah sebuah upaya kartini untuk mengkrtik adat jawa yang bias gender, serta mencoba mencari celah untuk mendekonstruksi budaya yang telah dimapankan tersebut. Lebih jauh lagi kartini juga menyadari bahwa kolonialisme Belanda yang selama ini dialaminya juga bukanlah hal yang benar. Dalam tulisannya, Kartini menjelaskan secara panjang lebar mengenai hubungan kolonialisme yang menindas, dan menunjukkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sebagai buah dari kolonialisme yang jahat itu.
"Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan ‘Hindia yang miskin.’ Orang mudah sekali lupa kalau ‘negeri kera yang miskin ini’ telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini," demikian dikatakan Kartini dalam suratnya.
Kartini berpikiran jikalau seluruh perempuan mempunyai kesadaran penuh untuk memperjuangkan hak-hak emansipasi wanita serta keadilan sosial, baik dalam ranah domestik maupun publik, bukan tidak mungkin budaya patriarkhi dalam adat jawa akan hilang. Dan cita-cita yang lebih tinggi lagi untuk memajukan bangsa Indonesia semakin terbuka lebar. Dan semua itu tidak akan tercapai kecuali dengan pendidikan.
Pendidikan yang selama ini hanya untuk kaum bangsawan dan tentunya bukan untuk perempuan, adalah salah satu problem sistemik yang menghambat kemajuan sebuah bangsa secara keseluruhan. Menurut kartini pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta emansipasi wanita adalah solusi paling nyata agar dapat menggerakkan para perempuan keluar dari lingkungan yang bias, serta dapat juga berkontribusi dan bereperan aktif secara rill dalam memajukan suatu bangsa, terutama oleh kolonialisme masa itu.
Jika melihat realitas keadaan sekarang, refleksi akan perjuangan kartini sangat diperlukan. Apakah di era posmodern sekarang perempuan-perempuan telah sesuai dengan cita-cita kartini?apakah perjuangan dekonstruksi wajah perempuan oleh kartini sudah paripurna? Perlu kita renungkan.
Share:

Thursday, April 13, 2017

Profile KAMABI

KAMABI merupakan organisasi yang menghimpun alumni mahasiswa Bidikmisi Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang. Organisasi nirlaba dengan asas kekeluargaan yang dibentuk untuk mengembangan bidang pendidikan di Indonesia. Hal ini didasarkan atas kehadiran Program Beasiswa Bidikmisi pada tahun 2010 yang digagas untuk menjadi jembatan kaum dhuafa yang berprestasi dalam menempuh pendidikan.
Asa muasal KAMABI adalah turunan dari KBMB (Keluarga Besar Mahasiswa Bidikmisi), yakni sebuah organisasi independen yang didirikan sebagai wadah bagi mahasiswa penerima beasiswa Bidikmisi pada 18 Desember 2010. Jika Kehadiran KBMB sebagai wadah mahasiswa, maka kehadiran KAMABI adalah wadah para alumni. Tujuannya adalah agar silaturrahim dan kekeluargaan tetap terbantuk serta dapat mewujudkan apa yang menjadi visi misi dalam gagasan adanya beasiswa Bidikmisi.
KAMABI dideklarasikan pada Minggu, 6 Desember 2015 di Auditorium Gedung Pusat Bahasa UIN Maulana Malik Ibrahim Malang bersamaan dengan agenda perayaan Dies Natalis V Keluarga Besar Mahasiswa Bidikmisi (KBMB). Dihadiri oleh dewan pembina KBMB dan perwakilan dari seluruh angkatan mahasiswa Bidikmisi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
KAMABI hadir atas inisiasi generasi Bidikmisi angkatan tahun 2012. Upaya ini didasarkan pada perjalanan organisasi bidikmisi di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang yang terhimpun dalam KBMB telah melahirkan alumni yang tersebar diberbagai bidang keahlian, namun belum ada wadah yang kemudian dapat menyatukan generasi emas tersebut. Oleh sebab itu, menyatukan mereka kembali dalam sebuah visi dan misi bersama dalam membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia, menjadi hal yang sangat penting dan disegerakan.
Keberadaan organisasi KAMABI ini diproyeksikan untuk kebutuhan yang sangat panjang tidak akan pernah putus, sesuai asas yang digunakan. Menjadikan wadah komunikasi dan membangun jaringan lintas nasional, bahkan internasional sekalipun. Bahu-membahu sesama mahasiswa Bidikmisi tidak memandang drajat jabatan maupun intelektual. Bagi mereka yang sudah beraktivitas kembali mengembangan desanya, bagi merea yang sudah beraktifitas dalam bangku pemerintahan maupun masih dalam bangku pendidikan semuanya tetap menjadi bagian dari KAMABI.
Kesekretarian KAMABI akan bertempat satu kantor dengan KBMB di Jln. Jososuko Metro II No. 7 Kelurahan Merjosari, Kec. Lowokaru, Kota Malang, bersanding menjadi satu dengan bascame pengurus KBMB. Tempat tersebut yang kemudian akan menjadi pusat regulasi administrasi organisasi KAMABI ke depan.


2. Visi 
Organisasi ini bertujuan untuk mengembangkan dan mendayagunakan seluruh potensi alumni mahasiswa Bidikmisi di berbagai bidang pengabdian dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara demi terwujudnya masyarakat dan bangsa Indonesia yang sejahtera, maju dan mandiri, demokratis dan berkeadilan dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.

3. Misi 
Untuk mencapai tujuan pada pasal 6 diperlukan usaha-usaha peningkatan sebagai berikut:
a. Membina, mengembangkan, dan meningkatkan  hubungan  silaturahmi  dan kekeluargaan di antara anggota Keluarga Alumni Mahasiswa Bidikmisi (KAMABI) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang.
b. Membina dan mendayagunakan seluruh potensi sumberdaya Keluarga Alumni Mahasiswa Bidikmisi (KAMABI) Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang dalam upaya  pengembangan karir dan profesinya di berbagai bidang pengabdian untuk bangsa.

Share:

Stats

Advertisement