Tuesday, April 25, 2017

SAWIT BUKAN SOLUSI

foto/internet
Kerusakan hutan akibat alih fungsi lahan menjadi komoditas sawit secara besar – besaran, adalah bentuk penyalahgunaan hutan Indonesia. Misalnya, pemanfaatan kawasan hutan produksi desa Kaloy, Tamiang, Aceh, disebutkan KOMPAS edisi 8 Maret 2017 terkait lahan sawit ilegal.
Sawit ilegal sebagai bentuk korporasi yang dilakukan elit yang berdiri atas kepentingan pribadi. Seperti, keberadaan kebun sawit yang berdiri atas izin pemerintah berdasarkan kesepakatan dengan pengusaha sawit. Kondisi demikian, seirama ungkapan Mahatma Gandhi bahwa seolah sumber daya bumi tak cukup memenuhi kerakusan perorangan yang mengorbankan banyak orang dan lingkungan. Akibat kerakusan perorangan tersebut, sumber daya melimpah berubah menjadi sumber bencana.
Sawit memunculkan permasalahan lingkungan hidup, buku Raja Limbung (Seabad Perjalanan Sawit di Indonesia) menyebutkan tipe monokultur  kebun sawit menyebabkan organisme selain sawit dianggap hama, sehingga akan dimusnahkan petani sawit. Sawit, membutuhkan banyak air sehingga menimbulkan kekeringan akibat hilangnya sumber air. Permasalahan lain, sawit penyebab global warming karena menyuplai emisi karbon ketika pembukaan lahan dengan pembakaran hutan  dan adanya pencemaran lingkungan akibat penggunaan bahan kimia pada sawit.
Permasalahan lingkungan, seharusnya menjadi cambuk untuk bersikap tegas terhadap sawit. Keberadaan sawit Indonesia memang anugrah karena sempat mempunyai andil besar dalam pasar dunia, namun berbanding terbalik karena kerusakan lingkungan muncul setelahnya. Selain itu, sawit Indonesia belum berstandart internasional. Disebutkan dalam KOMPAS edisi 28 september 2016, Uni Eropa hanya menerima CPO (minyak mentah) yang berasal dari perusahaan sawit berkelajutan pada tahun 2020. Sedangkan di Indonesia dari 1.600 perusahaan sawit, hanya 184 perusahaan tersertifikasi Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Sehingga masa depan sawit Indonesia sebenarnya mengkhawatirkan. Standart rendah dan kerusakan lingkungan seharusnya menjadi alasan untuk berhenti bergantung pada sawit. Sebab keberadaannya sangat merugikan kelestarian dengan kekayaan  indonesia.
Julukan zamrut khatulistiwa dengan kondisi lingkungan indah dan subur seharusnya dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan rakyatnya. Banyak solusi yang bisa dilakukan. Forest Watch Indonesia dan Globlal Forest Watch tahun 2000 menyebutkan, Indonesia merupakan negara dengan keanekaragaman hayati (biodiversity) tertinggi, meskipun daratannya hanya seluas  1,3% dari luas daratan dipermukaaan bumi. Biodiversity tersebut bisa dimanfaatkan dan dikembangkan menjadi sebuah alat pemasukan dalam negeri melalui program ekowisata. Ekowisata salah satu bentuk pemanfaatan hutan berbasis sistem berkelanjutan. Sistem berkelanjutan dengan tujuan jangka panjang agar hutan tetap alami dan kekayaan hayati didalamnya tetap lestari hingga anak cucu nanti. Salah satu yang bisa diperoleh dari wisata berbasih lingkungan hidup, yaitu kemanfaatan sebagai media edukasi.  Biodiversity sebagai objek penelitian yang ditawarkan sebagai ikon sebuah wisata. Sehingga Biodiversity Indonesia menjadi objek vital perkembangan ilmu pengetahuan, atau Indonesia menjadi laboratorium dunia. Menjadi laboratorium dunia sekaligus menjaga kelestariannya adalah tanggung jawab dunia, sebab dunia butuh Indonesia. Antisipasi adanya monopoli dari pihak luar terhadap biodiversity Indonesia, maka penting dilakukan pengawasan terhadap hasil penelitian yang ada, dengan membuat bank data terkait segala bentuk penelitian yang dilakukan di Indonesia. Kesadaran akan kelestarian lingkungan pun akan semakin tinggi, sehingga hutan alami tidak mudah dilepaskan menjadi lahan sawit lagi, dan lahan yang terlanjur rusak karena sawit segera dilakukan rehabilitasi sekaligus reboisasi dan yang terpenting adalah mengurangi perluasan kebun sawit dengan peraturan yang mengikat dari pemerintah. Oleh karenanya perlu kesadaran dari semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Stats

Advertisement