Wednesday, April 19, 2017

Kartini dan Dekonstruksi Kemapanan

Foto/Internet
Berbicara tentang kartini berarti berbicara tentang perempuan. Sosok perempuan yang melewati batas-batas pemikiran perempuan semasanya.  Salah satu perempuan yang sadar akan adanya ketidakadilan tirani dan berani beraksi untuk merubah dan memperjuangkannya kearah yang lebih beradab. Pergerakan dan pemikirannya yang progresif didapatnya di tengah kondisi kentalnya adat budaya jawa dan kerasnya arus kolonialisasi.
Kartini lahir dari keluarga bangsawan. Ayahnya Sosroningrat merupakan seorang bangsawan yang berpikiran maju. Beliau memberikan pendidikan Barat kepada seluruh anak-anaknya karena didorong oleh adanya kesadaran akan pentingnya ilmu pengetahuan.  Di sisi lain, kartini harus dihadapkan pada posisi subordinasi anti kritik adat jawa yang melingkupinya, terlebih karena dia adalah seorang perempuan. Dari sinilah dimulainya letak perjuangan sebenarnya.
Budaya stereotype yang diperolehnya dalam kultur jawa dialami sejak kecil. Mulai dari budaya poligami seperti yang dilakukan oleh ayahnya karena ibu kandung kartini (Ngasirah) bukanlah berasal dari trah asli bangsawan, budaya pingitan yang dialaminya sejak umur 11 tahun, budaya perjodohan yang menegasikan pihak perempuan, sampai budaya perempuan yang hanya sebagai konco wingking (yang hanya mengurusi wilayah domestik rumah). Perempuan pada masa itu seakan-akan tidak punya daya tawar apa-apa.
Perasaan berontak akan sebuah ketidakadilan kuasa tersebut membuat kartini ingin merubahnya ke arah yang sepantasnya. Memperjuangkan sebuah emasipasi serta harkat martabat perempuan adalah sebuah keniscayaan yang diyakini akan menjadi kenyataan, jikalau kaum-kaum marginal tersebut tidak hanya diam. Kartini dengan pemikiran progresifnya mencoba mendekonstruksi budaya-budaya patriarkhi yang tumbuh subur dan anti kritik. Sikap feminis dan reformis secara tidak sadar telah terpengaruhi dalam setiap pergerakannya.
Bermula dari keilmuannya yang diperoleh dari Europesche Lagere School atau Elementary School, Kartini dapat menguasai bahasa Belanda sehingga ia memiliki modal pengetahuan yang cukup untuk berhubungan dengan dunia modern. Komunikasinya dengan teman-temannya di Eropa dilakukan lewat surat-menyurat dalam bahasa Belanda. Kartini yang berkorespodensi langsung dengan tokoh feminis Belanda Stella Zeehandelaar secara tidak langsung telah terpengaruh oleh konsep-konsep feminisme liberal yang lebih jauh lagi ke dalam nasionalis pos-kolonial.
Lewat surat-suratnya tersebut Kartini banyak mengungkapkan keadaan kaumnya dan juga harapan-harapannya tentang upaya meningkatkan derajat kaum perempuan Indonesia. Kartini mengungkapkan pemikiran-pemikirannya tentang nasionalisme dan perjuangan untuk meningkatkan derajat bangsa Indonesia. Surat-surat Kartini kemudian dikumpulkan dan dibukukan oleh JH Abendanon, dengan judul Door Duisternis tot Licht. Buku ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Armin Pane dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.
Tulisan-tulisannya adalah sebuah upaya kartini untuk mengkrtik adat jawa yang bias gender, serta mencoba mencari celah untuk mendekonstruksi budaya yang telah dimapankan tersebut. Lebih jauh lagi kartini juga menyadari bahwa kolonialisme Belanda yang selama ini dialaminya juga bukanlah hal yang benar. Dalam tulisannya, Kartini menjelaskan secara panjang lebar mengenai hubungan kolonialisme yang menindas, dan menunjukkan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan sebagai buah dari kolonialisme yang jahat itu.
"Aku naik pitam jika mendengar orang mengatakan ‘Hindia yang miskin.’ Orang mudah sekali lupa kalau ‘negeri kera yang miskin ini’ telah mengisi penuh kantong kosong mereka dengan emas saat mereka pulang ke Patria setelah beberapa lama saja tinggal di sini," demikian dikatakan Kartini dalam suratnya.
Kartini berpikiran jikalau seluruh perempuan mempunyai kesadaran penuh untuk memperjuangkan hak-hak emansipasi wanita serta keadilan sosial, baik dalam ranah domestik maupun publik, bukan tidak mungkin budaya patriarkhi dalam adat jawa akan hilang. Dan cita-cita yang lebih tinggi lagi untuk memajukan bangsa Indonesia semakin terbuka lebar. Dan semua itu tidak akan tercapai kecuali dengan pendidikan.
Pendidikan yang selama ini hanya untuk kaum bangsawan dan tentunya bukan untuk perempuan, adalah salah satu problem sistemik yang menghambat kemajuan sebuah bangsa secara keseluruhan. Menurut kartini pendidikan yang menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan serta emansipasi wanita adalah solusi paling nyata agar dapat menggerakkan para perempuan keluar dari lingkungan yang bias, serta dapat juga berkontribusi dan bereperan aktif secara rill dalam memajukan suatu bangsa, terutama oleh kolonialisme masa itu.
Jika melihat realitas keadaan sekarang, refleksi akan perjuangan kartini sangat diperlukan. Apakah di era posmodern sekarang perempuan-perempuan telah sesuai dengan cita-cita kartini?apakah perjuangan dekonstruksi wajah perempuan oleh kartini sudah paripurna? Perlu kita renungkan.
Share:

0 comments:

Post a Comment

Stats

Advertisement