Anak SD belajar, sumber: http://4.bp.blogspot.com |
Wacana sekolah lima hari yang kabarnya bakal diterapkan tahun ajaran baru, Juli mendatang, menuai pro-kontra. Para pakar pendidikan, dan juga kalangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) serta Organisasi Masyarakat (Ormas) pun ikut bersuara, menyikapi kebijakan tersebut. Sebagian pihak memberikan dukungan atas program tersebut. Disisi lain juga ada penolakan yang begitu derasnya. Sebenarnya apakah esensi dari program tersebut?
Menteri pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Prof Dr Muhadjir Effendy terbilang Menteri Pendidikan yang banyak mengeluarkan kebijakan sejak resmi menjabat menteri, 27 Juli 2016 lalu. Diantaranya ada kebijakan Full Day School, guru sertifikasi wajib delapan di sekolah, moratorium Ujian Nasional (UN), dan kemudian kebijakan sekolah selama lima hari dalam sepekan, mulai Senin hingga Jumat.
Yang saat ini ramai sedang diperbincangkan diberbagai ruang publik adalah kebijakan lima hari dalam sepekan yang bakal diterapkan tahun ajaran baru 2017/2018 Juli mendatan. Sebab mendatangkan banyak penolakan dari sebagian pihak. Misalnya dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifudin, juga dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), kemudian dari PBNU serta beberapa ormas. Namun tidak sedikit pula yang memberikan dukungan atas keberanian mendikbud untuk menerapkan kebijakan tersebut.
Sebetulnya jika ditelaah mendalam, beberapa kebijakan Mendikbud sekolah lima itu sepaket dengan program Pendidikan Penguatan Karakter (PPK) atau kerap disebut full day school, juga kebijakan guru mengajar delapan jam di sekolah.
Program yang diarahkan untuk mendukung penanaman lima karakter yang dalam PPK. Yaitu, religius, nasionalisme, integritas, kemandirian dan gotong royong. Dijelaskan pula, penguatan karakter tersebut tidak berarti siswa akan belajar selama delapan jam di kelas. Tetapi bisa di lingkungan seperti surau, masjid, gereja, pura, lapangan sepak bola, musium, taman budaya, sanggar seni, dan tempat-tempat lainnya dapat menjadi sumber belajar. Proporsinya lebih banyak ke pembentukan karakter, sekitar 70 persen dan pengetahuan 30 persen.
Dengan pendidikan selama lima hari full di sekolah, diharapkan bisa dimaksimalkan untuk penanamkan nilai tersebut. Selebihnya, Sabtu Minggu siswa bisa mendapatkan pendidikan dari keluarga.
Tujuan dari adanya sistem yang wacanakan tersebut sangat baik. Masalahnya, apakah sekolah tersebut benar-benar siap menerapkan sistem tersebut? Hal itulah yang sejak perlu dikaji.
Butuh Kajian Akademik
Hadirnya sebuah kebijakan, setidaknya didasarkan pada kajian naskah akademik. Pertanyaannya, adakah hasil riset yang melandasi pengambilan kebijakan sekolah lima hari itu lebih efektif ketimbang enam hari di sekolah?
Kalaupun ada, mungkin hanya di kota-kota besar saja. Misalnya di Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya dan Kota Malang. Sebab, realitas pendidikan di Indonesia dapat dikatakan belum merata hingga saat ini. Dan bisa jadi, Mendikbud mengadopsi sistem tersebut dari Kota Malang tempat menunaikan kewajibannya sebagai rektor UMM sebelum menjadi menteri.
Meskipun demikian, pendidikan enam hari pada umumnya harus dievaluasi terlebih dahulu. Adakah masalah yang terjadi dalam sistem tersebut? Jika problem utama adalah pendidikan karakter, tentu bukan jam efektif di sekolah yang harus dirubah. Namun bagaimana internalisasi lima nilai yang diharapkan dalam pembelajaran di sekolah. Sehingga porsi siswa belajar di sekolah, berinteraksi dengan masyarakat dan mendapat pendidikan dari keluarga tetap ada.
Jika dibandingkan dengan kebijakan lima hari sekolah dan seharinya delapan jam, mulai pukul 08.00 s.d 16.00, mungkin beban mendidik karakter siswa lebih pada dua pihak saja. Yaitu sekolah serta orang tua di rumah. Sementara porsi siswa berinterasi dengan masyarakat bisa jadi tidak ada. Sebab dengan penuh seharian di sekolah, kemungkinan siswa terforsir dan tidak sempat bermain.
Untuk Sabtu-Minggu yang diharapkan siswa bisa berinteraksi dan mendapat pendidikan karater dari orang tua harus juga harus dikaji. Sebab, belum tentu dua hari tersebut libur kerja. Akibatnya, waktu libur lebih lama dari biasanya bisa jadi tidak terkontrol.
Lebih penting dari itu, karakteristik peserta didik di masing-masing daerah diketahui. Sebab, ada yang sehabis sekolah harus membantu orang tua bekerja bertani atau berternak untuk mencukupi kebutuhan sehar-hari.
Selain itu ada pula daerah yang juga memiliki tradisi penyelenggaran pendidikan madrasah diniyah (Madin) dan juga Taman Pendidikan Quran (TPQ) yang diselenggarakan sepulang sekolah, mulai pukul 15.00 WIB.
Selain itu membutuhkan faktor penunjang lainnya. Misalnya kanti sekolah yang sehat dan bisa melayani kebutuhan siswa selama full day di sekolah. Sarana belajar yang tidak membosankan, serta tempat ibadah yang cukup. Sudahkah sekolah memiliki fasilitas tersebut?
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga menolak kebijakan tersebut. Sebab kebijakan itu dipastikan berpengaruh terhadap penyelenggaraan pendidikan keagamaan yang selama ini dikelola oleh masyarakat. Bahkan sudah menjadi bagian dari bentuk kearifan lokal yang tumbuh dan berkembang di masyarakat.
Sistem Pendidikan ala Local Wisdom Bisa Jadi Solusi
Menyikapi polemik kebijakan sekolah lima hari, mungkin faktor local wisdom bisa menjadi pertimbangan. Sebab, diakui atau tidak, wilayah Indonesia ini sangat luas, terdiri dari belasan ribu pulau yang mengakibatkan persebaran pendidikan belum merata hingga saat ini. Akankah semua daerah dipaksa untuk menerapkan kebijakan tersebut Juli mendatang?
Memaksa mungkin saja, tetapi apakah esensi yang dimaksudkan bisa dicapai? untuk mencapainya membutuhkan proses penyesuaian. Bagaimana pendidikan karakter dengan lima nilai yang dimaksudkan, bisa diinternalisasi nilai-nilai itu pada jam sekolah.
Sebetulnya, pemberlakukan otonomi daerah Undang-undang (UU) 23 Tahun 2014 tentang pemerintah daerah, bisa membantu dalam internalisasi nilai-nilai yang dimaksudkan dalam PPK tanpa harus mengikuti sekolah lima hari. Pemerintah kabupaten/kota bertanggung jawab untuk pelaksanaan SD/SMP. Kemudian Provinsi bertanggungjawab atas SMA/SMK.
Yang memungkinkan rutinitas sepulang sekolah biasaya ada kegiatan TPQ atau mungkin bisa menjalin menjalin kerjasama dengan sekolah, sehingga aktivitas mengaji dan memperdalam wawasan religius tetap jalan. Sehingga tradisi tersebut tidak hilang.
Kemudian untuk biasanya bertani atau bekerja membantu orang tua, bisa dikenalkan kegiatan wirausaha untuk mendorong kemandirian.
Dipublikasikan perdana di http://www.kisnoumbar.com/
0 comments:
Post a Comment