Friday, June 9, 2017

Menjaga NKRI, Melestarikan Warisan Ulama

Adakah negeri seplural Indonesia? Jumlahnya pulaunya ada belasan ribu, bahasanya ada ratusan, demikian pula suku bangsanya dan juga agamanya yang beragam. Mungkin hanya Indonesia yang mampu berdiri diatas heterogenitas masyarakat yang ada.
Jika tidak, tentu bakal ada banyak negera bagian. Bisa berdasarkan afiliasi pulau, bisa pula bahasa, juga suku bangsanya masing-masing. Namun, itu tidak terjadi di Indonesia saat ini. Karena ada satu landasan ideologi bangsa yg dijunjung bersama sejak 1945 silam, yaitu pancasila yang termaktub dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Melihat kondisi sekarang ini, Indonesia yang terbentuk dari heterogenitas sepertinya sedang diuji. Kelompok-kolompok yang tidak sepakat pancasila sebagai ideologi bangsa, mulai bergerak dengan tanpa tedeng aling-aling. Misalnya, maraknya gerakan kelompok-kelompok radikal dan ektrimis yang mulai beranjak dari Timur Tenggeh ke Indonesia. Peristiwa pengeboman yang hampir setiap tahun tidak pernah absen.
Sedikit membuka memori masa lalu, tentu kita sebagai warga Indonesia tidak lupa dengan pristiwa pengeboman yang terjadi pada 12 Oktober 2002 malam di Bali, yang menewaskan 202 orang. Tepat pada 5 Agustus 2003 silam, disusul dengan ledakan bom di kawasan Hotel JW Mariott, Jakarta. Berlanjut pada 9 September 2004 sebuah bom mobil meledak di depan Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta. Kamudian tahun 2005,  juga kembali ledakan bom kembali mengguncang Bali, tepatnya pada 1 Oktober.
Peristiwa pengeboman sempat terhenti beberapa tahun di Indonesia, hingga 17 Juli 2009, kembali bom meledak di Hotel JW Marriott dan Ritz-Carlton di kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan.
Tahun 2010, ledakan bom bunuh diri yang dilakukan oleh Ahmad Abdul Rabani dengan menggunakan sepeda ontelnya di kawasan Kalimalang Bekasi.  Lalu pada 15 April 2011 peristiwa bom bunuh diri yang terjadi di Masjid adz-Dzikro Cirebon. Bom Mapolres Poso yang terjadi 2013 lalu, dilanjutkan dengan Bom Sarinah yang terjadi 2016 dan terakhir bom kampung melayu yang terjadi 24 Mei lalu.
Tidak hanya lewat teror dengan menggunakan bom saja. Sebagian kelompok lain yang juga menolak pancasila sebagai ideologi bangsa juga melakukan upaya gerekan bawah tanah. Lewat forum-forum diskusi dan bangku-bangku perkuliahan, ingin menanamkan cita-cita mereka menjadi negara yang pedoman pada satu agama secara kaffah.
Saat berdiskusi dengan Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang selasa lalu (6/6). dalam Seminar Nasional , Prof Dr Mudjia Rahardjo, dengan tegas menyatakan, adakah negara makmur hingga saat ini dengan berdiri di atas paham atau agama? Dalam sejarah, katanya tidak ada bangsa yang makmur bisa berdiri murni di atas satu paham kegamaan. Misalnya saja, seperti Yugoslavia yang kini terpecah menjadi beberapa negara misalnya Kroasia, Bosnia, dan Serbia.
Kemudian negara-negara yang ada di Timur Tengah yang sekarang kondisinya sedang genting. Padahal mereka sesungguhnya negara menganut paham-paham kegamaan. Sudan yang kemudian terpecah menjadi Sudan Utara dan Sudan Selatan.
Adakah kira-kira yang lebih ampuh dari pancasila yang bisa menyatukan keberagaman menjadi satu kesatuan negara yang berdaulat menjelang kemerdekaan yang ke – 72  tahun.
Meskipun Pancasila dinilai ampuh bisa menjadi pemersatu bangsa, bukan berarti ancaman dari luar dan dalam tidak menjadi kendala. Sebab, semakin tahun pemahaman akan persatuan di atas perbedaan di Indonesia ini tampak melemah. Banyaknya ujaran kebencian yang tersebar di media sosial (medsos) yang mangatas namankan kelompok tertentu dan agama tertentu yang saling menyerang. Bahkan sebagian kelompok yang tidak terima dengan tindakan tersebut juga melakukan ancaman-ancaman bahkan tindakan persekusi pada pelaku ujaran kebencian. Tanpa lewat jalan hukum, namun menggunakan hukum mereka sendiri.
Ya, beginilah, Tindakan yang mengancam persatuan di Indonesia ternyata tidak sedikit. Dan bahkan ancaman itu juga mungkin tidak sadar lewat diri kita sendiri yang acuh atas perubahan tersebut. Bagaimana tidak? Disaat ada sesuatu yang harus diluruskan, namun kebanyakan akademisi memilih diam untuk melihat hasil sembari mengatakan bentuk observasi untuk diteliti. Apakah iya? Atau takut dan tidak melakukan tindakan.
Selogan ‘inilah tugas kita menjaga kesatuan NKRI’ terlampau sering dikumandangkan. Namun, dalam realitasnya masih nihil.
Selanjutnya, kenapa kenapa NKRI harus dipertahakan. Barangkali sebagian orang butuh alasan untuk mempertahankan sesuatu, termasuk NKRI ini.  Guru Besar Sosiolinguitik di UIN Maliki Malang itu menyatakan, salah satu alasan yang menambahkan keyakikanan, Indonesia ini merupakan warisan dari jerih payah para santri dan ulama yang ada  di Indonesia. Mereka turut serta dalam upaya memerdekaan NKRI tersebut. Bahkti kita pada ulama itu bisa jadi lewat mempertahakan negeri ini.
Dalam buku Kiai dan Santri dalam Perang Kemerdekaan ditulis, H Soleh Hayat, mengupas dengan gamblang bagaimana para ulama dan santri andil dalam perjuangan kemerdekaan dalam Laskar Perang Hizbullah dan Sabilillah dan juga sebelum adanya Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Sebelum kemerdekaan, peran Kiai dapat dilihat dari perjuangan dari Sultan Alaudin Awwalul Islam melawan penjajah di Makasar. Kemudian Pangeran Diponegoro yang melakukan perlawan di Jawa, kemudian ada Cik Di Tiro ulama yang berjuang di aceh melawan penjajah. Dan masih banyak para ulama lainnya yang turut memperjuangkan kemerdekaan dan tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.
Peran ulama dan santri begitu terlihat beberapa sebulan setelah kemerdekaan Republik Indonesia atau 17 September 1945, saat KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa jihad berisikan ijtihad perjuangan membela tanah air suatu jihad fi sabilillah atas permintaan Presiden Soekarno. Peristiwa tersebut berlanjut hingga perang besar pada 10 November 1945. Dalam pertempuran-pertempuran tersebut kiailah yang bertindak sebagai pimpinan pasukan, seperti KH Asyim Asy’ari yang juga berindak sebagai komandan tertinggi Laskar Hizbullah,kemudian ada Kiai Abbas dan KH Abd Wahab Hasbullah, Bung Tomo (Soetomo). Perjuangan pada waktu yang sama 10 November juga dilakukan ulama di Jawa Barat KH. Muslich dari Cilacap, juga diikuti ulama dari Aceh dan wilayah Sumatra lainnya.
Sebetulnya perjuangan ulama begitu besarnya, namun kenapa rumusan negara ini tidak beridi di atas salah satu paham keagmaan saja? Prof Mudjia sempat mengulas, sebetulnya waktu pembentukan Piagam Jakarta hal tersebut bisa saja dilakukan. Sebab, empat dari tim sembilan pada piagam jakarta adalah tokoh muslim. Namun tidak dilakukan, sebab memperhatikan keberagaman di Indonesia yang tidak hanya dihuni oleh warga muslim. Kemudian dasar Ketuhanan Yang Maha Esa Lah yang digunakan.
Jika sudah mengerti seperti ini, apa yang akan anda lakukan? Silakan direnungkan dan diniatkan masing-masing. Yang jelas ancaman terhadap Republik ini, makin tahun makin nyata.

Share:

0 comments:

Post a Comment

Stats

Advertisement